Tri Widyaswari, Seorang Guru yang Menerjang Hutan Demi Mengajar Siswa

Peribahasa “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” selalu melekat pada diri seorang guru. Menjadi seorang guru memiliki tugas mulia yakni mengajar dan mendidik anak bangsa, namun untuk mengajar dan mendidik sebagian guru justru harus melewati berbagai medan dan menjangkau ke daerah 3T.

Ini kisah seorang guru asal Musi Banyuasin, Tri Widyaswari yang harus mengajar di salah satu sekolah dasar yang berada di daerah terpencil Provinsi Sumatera Selatan.

Perjalanan untuk mengajarnya pun tidak mudah, dimulai dari jarak tempuh darat berkisar 2 jam melewati hutan dan perkebunan, lalu jalanan yang masih berupa lumpur dan tanah merah sehingga membuat tekstur jalan yang tidak mulus, belum lagi jika cuaca sedang tidak bersahabat, Tri pasti akan terciprat oleh kendaraan lain sehingga Ia harus membawa baju ganti untuk mengajar.

“Memang ini penuh tantangan, sehingga saya harus lebih mempersiapkan segala kebutuhan untuk mengajar” tekad Tri.

Tri juga menjelaskan jika hal yang pastinya sudah Ia persiapkan adalah baju ganti untuk mengajar, mengganti ban kendaraannya menjadi ban anti slip, tak jarang juga Ia menggunakan sepatu boots, dan serba-serbi peralatan mengajar lainnya.

Sesampainya di sekolah Tri langsung mengganti bajunya dan menyapa para siswa. Para siswa selalu antusias jika telah bertemu dengan Tri, “Dan saya selalu merasa senang, sekejap lelah saya hilang ketika saya melihat senyum mereka yang tulus dan polos” tambahnya.

Selain mengajar siswa, hal menyenangkan lainnya adalah ketika panen buah. Ia sering diajak siswanya untuk memakan buah bersama dari hasil panen, bercengkerama dengan para orang tua sehingga orang tua pun tahu perkembangan dari anak-anaknya.

Namun semua rutinitas ini berubah ketika hadirnya pandemi Covid-19 yang mengharuskan seluruh kegiatan dilakukan secara daring, sehingga pembelajaran kini dilakukan secara daring atau yang biasa disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Bersama dengan rekan-rekan guru dan tim manajemen sekolah, Tri menentukan strategi pembelajaran yang akan Ia lakukan bersama siswanya. Namun kendala utama yang mereka hadapi yakni sinyal sehingga tidak mungkin jika pembelajaran dilakukan secara daring seutuhnya. “Tidak nyaman dengan keadaan ini karena menjadi serba sulit terutama sinyal, karena di daerah ini tidak ada sinyal” ucap seorang guru ini.

Hal yang Tri bersama rekan gurunya lakukan adalah memberikan tugas kepada siswa dan dilakukan pertemuan tatap muka terbatas dua kali dalam satu minggu secara bergantian. Tugas yang diberikan kepada siswa dibuat lebih mudah dan menyenangkan yaitu dengan Project Based Learning atau tugas berbasis proyek.

“Contohnya adalah tugas membuat biji magnet, para siswa dapat mencari pasir yang mengandung serbuk besi sehingga magnet dapat menempel pada pasir tersebut. Magnet akan dipinjamkan dari sekolah dan siswa dapat mencari pasirnya di sekitar lingkungannya masing-masing. Ini menarik dan seluruh siswa sangat senang dan menikmati” kilas cerita Tri tentang tugas berbasis proyek yang Ia lakukan.

Tak jarang juga Ia datang ke rumah siswa untuk langsung mengajarkan materi pembelajaran dan berdiskusi dengan orang tua, “Karena bagaimanapun juga peran orang tua sangat penting dalam PJJ ini”.

Sebagai seorang pendidik, Tri menyadari bahwa dirinya harus terus berinovasi dan lebih kreatif dimasa pandemi ini. Oleh karena itu, Tri yang telah tergabung dalam Pusat Belahar Guru (PBG) Musi Banyuasin bertekad kuat untuk terus mengasah keterampilan dan kreatifitasnya melalui serangkaian pelatihan daring yang diadakan oleh PGB Musi Banyuasin.

Pusat Belajar Guru Musi Banyuasin dengan filosofi “Dari Guru, Oleh Guru, dan Untuk Guru” merupakan organisasi belajar mandiri yang structural dan sistematis, dijalankan oleh guru terpilih dibawah pengawasan pemerintah daerah Musi Banyuasin dan dikembangkan sebagai solusi untuk menyikapi keterbatasan akses guru dalam layanan pengembangan profesi.

Di PBG Musi Banyuasin, Tri mengikuti beragam pelatihan mulai dari memanfaatkan beragam platform sebagai metode pembelajaran hingga pelatihan mempersiapkan Asesmen Nasional. Untuk mengikuti pelatihan daring ini pun tidak mudah untuk Tri karena kendala utamanya tentu sinyal.

Kendala ini tidak memudarkan semangat Tri, Ia terus berusaha untuk mencari koneksi sinyal yang stabil. Pertama yang Ia lakukan adalah memasuki gedung ruko 3 lantai yang belum selesai dibangun. “Ceritanya adalah ketika saya sedang pelatihan, koneksi sinyalnya tiba-tiba hilang. Saya dengan cepat harus mencari daerah yang lebih tinggi dan pada saat itu yang saya temukan adalah ruko ini” jelas Tri.

Kedua adalah memanjat pohon dan mengikat telepon selulernya di atas pohon. Karena koneksi sinyal antara laptop dan telepon selulernya tidak dapat berjauhan, maka Ia melakukan pelatihan di bawah pohon tersebut. Terakhir jika Tri masih memiliki waktu, Ia menumpang di salah satu sekolah binaan Putera Sampoerna Foundation melalui Lighthouse School Program yaitu SMPN 6 Sekayu, Musi Banyuasin.

Menurut Tri, pelatihan yang dilakukan ini dapat Ia langsung implementasikan kepada siswanya. “Siswa selalu senang dan bertanya lagi ‘Mam besok kayak gini lagikan?’ dan saya merasa senang dan beruntung karena sudah mendapatkan ilmu ini dari PBG Musi Banyuasin yang langsung difasilitasi oleh fasilitator Putera Sampoerna Foundation”.

Beragam kendala dan keterbatasan tidak menghalangi Tri untuk terus berkembang, berinovasi, dan melakukan perubahan kecil yang bermakna untuk para siswanya. “Karena saya percaya selalu ada acara untuk membelajarkan siswa saya, terutama dengan adanya pandemi seperti ini” tutup Tri. (ZNP)